14 Jun 2011

pancasila sebagai ideologi bangsa

Saya  merasakan bahwa kesadaran berkebangsaan di Indonesia sedang meningkat. Hal itu ditandai dengan semakin banyaknya kegiatan yang dilakukan untuk membahas tentang pilar kebangsaan tersebut dalam konteks kekinian. Di akhir tahun lalu hingga kini,  ada sejumlah kegiatan dengan tema peningkatan wawasan kebangsaan di era modernitas.
Di era sekarang memang muncul berbagai aliran dan paham keagamaan dan social politik yang mengusung tentang ideologi baru. Yaitu ideologi kanan dan kiri yang sesungguhnya tidak relevan dengan konteks keindonesiaan. Misalnya,  munculnya organisasi yang mengusung ideologi proletariat atau sosialisme dan juga organisasi yang mengusung ideologi keagamaan yang keras untuk terbentuknya negara agama.
Semua ini menandakan bahwa sedang terjadi pertarungan antar ideologi secara laten. Kelompok kiri dan kanan sedang bertarung untuk memperebutkan tanah tumpah darah Indonesia.  Meskipun kelompok kiri tampak terseok-seok yang disebabkan oleh beban sejarah, seperti halnya berbagai tindakan subversif yang pernah terjadi di Indonesia, maka  kelompok ini memang sangat laten, tersembunyi. Jika ada kegiatan,  maka dilakukan dengan sangat hati-hati dan tersembunyi.
Hal ini berbeda dengan kelompok kanan yang sangat terang-terangan di dalam mengekspresikan pilihan sosial, agama dan politiknya. Aliran seperti gerakan salafi dalam berbagai variasinya  tentu sangat vokal menyerukan perlunya mengubah ideologi bangsa dengan ideologi  lain. Jika kita lihat secara lebih mendalam, maka tujuannya adalah untuk  mendirikan negara Islam, khilafah Islamiyah. Jadi kelompok kanan lebih ekspresif dalam artikulasinya di bidang social dan politik.
Di tengah nuansa pertarungan laten ini, maka muncullah kesadaran baru tentang perlunya menjaga pilar bangsa. Yaitu bagaimana bangsa ini menjaga Pancasila, UUD 1945, NKRI dan keberagaman. Empat pilar kebangsaan inilah yang semestinya menjadi pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat Indonesia untuk melaksanakannya, sekarang dan masa depan.
Arah  Baru  Radikalisme
Pada tahun 1980-an, sinyalemen yang kuat menyatakan bahwa kebanyakan eksponen organisasi Islam radikal adalah mereka yang berasal dari program studi sains dan teknologi. Bahkan pembenaran empirik pun juga terbukti. Dan kenyataannya hingga sekarang memang yang paling banyak mensupport organisasasi Islam radikal adalah mahasiswa dari prodi sains dan teknologi tersebut.
Tidak kurang yang membuat sinyalemen tersebut adalah Menteri Agama, Munawir Syadzali,  yang kala itu memang menyatakan bahwa mahasiswa ilmu eksakta memang mengkaji Islam secara sepotong-sepotong, sehingga yang diperoleh adalah pelajaran yang kurang komprehensif tentang Islam. Adakalanya yang dipelajarinya adalah bagian tertentu saja, misalnya ayat-ayat tentang jihad dan sebagainya yang lebih bermakna perang ketimbang kedamaian.
Waktu itu ada anggapan,  jika belajar Islam secara komprehensif, maka yang dihasilkan adalah pemahaman Islam yang lebih inklusif. Makanya, mahasiswa PTAIN  kala itu tidak tertarik dan tidak menjadi bagian dari program Islam radikal. PTAIN dianggap sebagai institusi pendidikan yang “steril” dari gerakan Islam radikal, baik Salafi intelektual ataupun Salafi ideologis. Bahkan juga tidak ada yang memasuki kawasan Salafi Jihadi.
Namun demikian, realitas empiris menunjukkan bahwa sekarang terdapat perubahan yang luar  biasa. Dewasa ini sudah tidak ada lagi wilayah yang steril dari gerakan Islam radikal. Tidak hanya mahasiswa prodi sains dan teknologi saja yang menjadi eksponen organisasi Islam radikal, akan tetapi juga mahasiswa dari prodi lain, baik ilmu sosial humaniora maupun ilmu agama.
Beberapa saat yang lalu tentu kita ingat mahasiswa sains dan teknologi Universitas Islam Negeri  (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang terlibat sebagai pelaku gerakan teroris di Jakarta. Sayangnya bahwa mahasiswa yang menjadi pelaku teror ini tertembus timah panas dan meninggal. Meskipun diketahui jaringannya, akan tetapi penelusuran terhadapnya menjadi kurang gereget. Memang yang terlibat adalah mahasiswa sains dan teknologi, akan tetapi ketika mereka adalah mahasiswa UIN Jakarta, maka menjadi sebuah pertanyaan besar, bahwa ada arah baru gerakan radikalisme dan terorisme.
Kemudian yang barusan terjadi adalah terlibatnya alumni Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta untuk menjadi pelaku teror bom. Pepi Fernando, adalah mantan mahasiswa Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta yang lulus tahun 2001. Dia secara jelas terlibat di dalam kasus terorisme, yaitu penanaman bom di jalur pipa gas dan berencana untuk meledakkan Gereja Christ Catedral saat peringatan Paskah. Dia ternyata memiliki sejumlah kolega yang memiliki kesamaan visi untuk melakukan tindakan teror ke berbagai tempat.
Anehnya, bahwa kelompok ini tidak memiliki kecenderungan kepada Islam radikal tertentu sebelumnya. Artinya, ketika menjadi mahasiswa tidak menunjukkan arah kecondongan kepada organisasi radikal yang sudah ada. Namun demikian, tiba-tiba terjadi perubahan setelah mungkin memiliki jaringan dengan kelompok tertentu yang juga berindikasi radikal.  Di dalam pengakuan kawan-kawannya, maka Pepe ini menjadi berubah ketika datang dari Aceh. Makanya yang perlu dikembangkan penyelidikannya adalah bagaimana jaringan Pepe ini eksis dan ke mana arah atau sumbernya.
Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan bahwa tampaknya ada arah yang sungguh berubah tentang gerakan radikalisme. Yaitu radikalisme tidak lagi menjadi kapling lembaga pendidikan tertentu atau mahasiswa tertentu, akan tetapi sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari lembaga pendidikan dan organisasi yang ada.  Yang saya maksudkan bahwa radikalisme sudah menjadi bagian dari sebagian kecil kehidupan masyarakat.
Dengan kenyataan bahwa ada mahasiswa PTAIN yang menjadi eksponen organisasi Islam radikal dan bahkan mahasiswa dan alumninya menjadi pelaku teror, maka sekali lagi membuktikan bahwa gerakan radikalisme sudah menjadi arus utama sebagian kecil masyarakat kita.
Bahkan juga tidak hanya mahasiswanya, akan tetapi  beberapa dosennya juga berafiliasi kepada Islam model ini. Saya memang tidak memiliki data tentang berapa banyak mereka yang terlibat di dalam gerakan fundamentalisme Islam, akan tetapi secara riil dapat dinyatakan keberadaannya.  Dan kebanyakan mereka juga dosen-dosen muda yang memang disiapkan untuk memasuki dunia akademis di dalam kerangka menyebarkan gagasan akademik dan ideologi  sekaligus.
Pola pengkaderan melalui sistem murabi’ yang dikembangkannya ternyata memang sangat ampuh untuk menjadikan seseorang memiliki semangat dan ghirah untuk terus terlibat dan menjadi bagian penting di dalam sel-sel yang dikembangkannya. Setiap murabi’ akan membimbing misalnya 10 orang. Dan setiap 10 orang sekurang-kurangnya akan menghasilkan satu orang murabi’ baru. Demikian seterusnya, sehingga selnya semakin lama akan semakin banyak. Makanya jumlah kaum radikal dengan berbagai ragam organisasinya juga akan terus berkembang.
Sebagaimana tesis Bill Liddle, bahwa era reformasi akan membawa angin segar bagi gerakan radikal dan ternyata memang benar adanya.  Jika di masa Orde Baru gerakan seperti ini sulit berkembang karena cengkeraman pemerintah yang sangat kuat, maka di era Reformasi yang di dalamnya terdapat keterbukaan, demokratisasi dan HAM, maka gerakan radikal sepertinya  menuai zamannya.  Pemerintah tidak berani melakukan tindakan yang disangkakan kepada mereka, sebab  bisa menyebabkan masuknya HAM  di dalamnya.  Makanya, pemerintah pun gamang untuk melakukan penindakan terhadap mereka yang dianggap telah menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku terkait dengan gerakan radikalisme.
Perguruan tinggi adalah lembaga strategis untuk mencetak kader-kader bangsa di masa depan. Posisi inilah yang disadari betul oleh mereka kaum radikalis itu. Makanya, rekruitmen yang besar-besaran dilakukan justru di kampus. Melalui rekruitmen terhadap anak-anak mahasiswa yang pintar, maka mereka akan memperoleh keuntungan ganda. Mereka akan memperoleh kader militan  dan sekaligus juga calon pemimpin di masa yang akan datang.
Pancasila Sebagai Ideologi yang Hidup
Diskursus tentang kapan hari lahirnya Pancasila memang menjadi bahan perbincangan akhir-akhir ini. Hal itu tentu saja terkait dengan acara yang diselenggarakan oleh MPR RI untuk memperingati tanggal 1 Juni sebagai hari di mana Soekarno berpidato tentang pentingnya menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Di antara yang mendukung Pancasila dilahirkan tanggal 1 Juni 1945 adalah tentu saja keluarga besar Bung Karno, sementara  kelompok lain, yang direpresentasikan oleh AM Fatwa beranggapan lain, yaitu tanggal 22 Juni 1945 bersamaan dengan kesepakatan tentang Jakarta Charter.
Secara kronologis, pembicaraan tentang apa yang sebaiknya menjadi dasar negara memang sudah terjadi semenjak tanggal 20 Mei 1945. Pada waktu itu sudah muncul gagasan tentang dasar negara di dalam Sidang BPUPKI. Antara lain usulan Soekarno, yaitu: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat. Kemudian Muhammad  Yamin juga mengajukan usul antara lain: Ketuhanan Yang Maha Esa, Persatuan Indonesia, Rasa kemanusiaan Yang Adil dan beradab, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno memberi nama dasar negara yaitu Pancasila dengan rumusan: Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan yang berkebudayaan.  Lalu, 22 Juni 1945, melalui Sidang PPKI yang dihadiri oleh Soekarno, Muh. Hatta, AA. Maramis, KH. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkar, Abikusno Tjokrosujoso, Agus Salim, Ahmad Subardjo, Muhammad Yamin menetapkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) sebagaimana yang tertera di dalam Pembukaan UUD 1945 dengan tambahan pada bagian Ketuhanan yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya-pemeluknya.
Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan Sidang dengan agenda menetapkan hukum dasar  dengan pembukaannya dan menetapkan presiden dan wakil presiden. Pada saat itulah muncul keberatan dari Indonesia Timur tentang tujuh kata pada sila pertama. Maka atas kemauan tersebut lalu tujuh kata itu dicoret, sehingga akhirnya disepakati menjadi Ketuhanan yang Maha Esa.
Dari konteks ini,  maka jelaslah bahwa kelahiran Pancasila merupakan proses panjang hasil akumulasi dari berbagai pemikiran yang berkembang. Hanya saja memang istilah Pancasila itu dinyatakan pada tanggal 1 Juni 1945. Tetapi isi dari Dasar Negara telah dibicarakan dalam berbagai pertemuan sebagaimana kronologi di atas. Dengan demikian, maka kelahiran Pancasila merupakan sebuah proses yang saling mengisi semenjak dibicarakan tentang Dasar Negara tanggal 20 Mei 1945 hingga tanggal 18 Agustus 1945. Proses sejarah ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Melihat kenyataan ini, maka benarlah apa yang dinyatakan oleh Presiden SBY bahwa bangsa Indonesia tidak perlu memperdebatkan tentang  Pancasila sebagai dasar negara. Menurut Presiden bahwa perdebatan tentang Pancasila sebagai dasar negara hanya akan menghasilkan sesuatu yang kontraproduktif. Bagaimana pun keberadaan Pancasila sebagai dasar negara sudah merupakan sesuatu yang tidak terbantahkan.  Pancasila telah menjadi bagian penting di dalam kehidupan bernegara bangsa semenjak Indonesia merdeka. Pancasila merupakan consensus nasional bangsa Indonesia tentang apa yang sebaiknya menjadi dasar negara.
Melalui consensus nasional yang kemudian menjadi dasar  negara ini, maka bangsa Indonesia telah merenda kehidupan berbangsa dan bernegara semenjak kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 hingga sekarang. Pancasila telah teruji dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, etnis dan agama. Pancasila memang telah menjadi common platform bagi bangsa Indonesia.
Pancasila memang digali dari sejarah panjang kehidupan dan kebudayaan masyarakat Indonesia yang kemudian diakumulasikan dalam lima sila sebagaimana yang kita kenal sekarang. Pancasila tersebut merupakan consensus seluruh bangsa Indonesia yang direpresentasikan oleh mereka yang tergabung di dalam Sidang BPUPKI dan PPKI. Meskipun kebanyakan anggota PPKI adalah beragama Islam dan telah menentukan preambule UUD sebagaimana tercantum di dalam Jakarta Charter, akan tetapi melalui kebesaran hati dan visi ke depan Indonesia yang plural dan multikultural, maka mereka menerima usulan dari sebagian bangsa Indonesia yang beragama non-Islam.
Peristiwa historis inilah yang sebaiknya menjadi bahan pertimbangan bagi generasi sekarang. Pertimbangan tentang pluralism dan multkulturalisme yang dijadikan sebagai pedoman untuk merenda Indonesia masa depan oleh founding fathers, seharusnya menjadi pegangan bagi masyarakat Indonesia di dalam membangun Indonesia.
Pancasila dengan demikian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)   yang telah menjadi pilihan cerdas dari para pendiri bangsa. Jika Pancasila sebagai Dasar Negara telah memperlihatkan ketangguhannya untuk menjadi perekat bangsa, maka sepatutnya memang sudah tidak  perlu lagi dibicarakan eksistensinya.  Pancasila merupakan keputusan final tentang dasar negara.
Kembali Kepada  Ideologi Pancasila
Di dalam diskusi terbatas di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), 12/05/2011, ditegaskan bahwa menjadikan Pancasila sebagai ideology Negara Indonesia tidak boleh bergeser sedikitpun.  Berdasarkan pemikiran dan pengalaman lapangan yang sangat memadai bahwa Pancasila memang bisa menjadi ideology bangsa Indonesia di tengah kehidupan yang sangat multikultur dan plural.
Menurut Mantan Menteri Luar Negeri, Hasan Wirayuda, bahwa Pancasila adalah ideologi tengah yang tidak menganut sistem negara liberal, di mana agama sama sekali dilepas dari kehidupan Negara dan di sisi lain juga tidak mengikuti sistem negara agama yang juga banyak menyisakan persoalan. Ketika negara-negara barat  melepaskan agama sebagai ideologi negara dan kemudian masuk ke negara liberal yang melepaskan agama dari kehidupan politik kenegaraan, maka ketika Indonesia merdeka diputuskanlah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang dianggap sebagai jalan tengah untuk mendayung di antara negara agama dan negara liberal.
Pancasila memang bukan menegaskan sebagai negara agama dan juga bukan menegaskan sebagai negara liberal, akan tetapi suatu ideologi yang memberikan tempat agama untuk menjadi pedoman bagi kehidupan bernegera dan juga menjadikan negara sebagai tempat untuk menumbuhkembangkan kehidupan beragama. Di dalam konsepsi relasi antara agama dan negara disebut sebagai hubungan yang simbiotik mutualisme.
Melalui Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka ditegaskan bahwa negara ini menjadikan poros ketuhanan sebagai titik tolak kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pilihan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa sebenarnya menjelaskan bahwa negara ini bukanlah negara sekuler yang memisahkan kehidupan negara dan masyarakatnya dari dimensi teologis. Ketuhanan yang Maha Esa adalah sebuah pengakuan formal negara bahwa negara ini berbasis pada agama. Memang bukan negara agama, akan tetapi agama menjadi substansi di dalam kehidupan kenegaraan dan social kemasyarakatan.
Dasar filosofis seperti ini, yang sering belum dipahami oleh banyak orang sehingga menganggap bahwa masih ada ideologi lain yang ingin diujicobakan di dalam kehidupan bernegara. Salah satunya adalah ideologi agama. Padahal sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Bambang Pranowo, bahwa “tidak ada Negara Islam” sebab Nabi Muhammad saw sendiri tidak menyatakan sebagai Daulah Islamiyah. Nabi Muhammad saw memang sebagai pemimpin masyarakat Madinah akan tetapi bukan sebagaimana  bayangan orang tentang negara sebagaimana konsepsi modern mengenai negara. Bahkan di dalam Piagam Madinah juga sama sekali tidak disebutkan sebagai perjanjian antara Negara Islam dengan lainnya, akan tetapi adalah perjanjian antar masyarakat sipil untuk saling memahami dan memberi toleransi antara satu dengan lainnya.
Setiap negara memang berkembang secara fluktuatif. Jika menggunakan perkembangan Pancasila sebagai dasar dan falsafah kehidupan bangsa, maka juga terjadi perkembangan yang fluktuatif tersebut. Jika di masa Orde lama adalah proses pembentukan Pancasila sebagai dasar negara, dan kemudian di era Orde Baru adalah pemantapan Pancasila sebagai dasar dan falsafah bangsa, maka justru di era Reformasi terjadi kesebalikannya. Pancasila dianggap sebagai ideologi negara yang dipertanyakan kekuatannya sebagai dasar dan falsafah bangsa.
Pancasila sebagai ideologi negara, memang sedikit terpinggirkan di era Reformasi. Artinya, bahwa pasca kegagalan Orde Baru yang pada saat berkuasa menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan secara koersif memaksakan pemahaman akan Pancasila dan ternyata justru menuai kegagalan karena perilaku aparat yang tidak relevan dengan nilai-nilai dasar Pancasila, maka ketika angin reformasi berhembus kencang, maka Pancasila pun dituduh sebagai ideologi yang gagal. Maka ketika ada orang yang berbicara Pancasila, maka orang tersebut  dianggapnya sebagai pelanjut rezim Orde baru.
Syukurlah bahwa keadaan seperti ini segera disadari, sehingga kemudian di sana-sini muncul gerakan untuk mengembalikan Pancasila sebagai dasar dan falsafah kehidupan bangsa. Perguruan tinggi juga tergerak untuk mengembalikan Pancasila dalam posisi sentral dalam kehidupan bangsa. Tahun ini tepatnya pada awal bulan Juni di Surabaya dilaksanakan kegiatan Sarasehan Pancasila dalam kerangka peringatan hari lahirnya Pancasila, 01 Juni 2011.
Melalui kembalinya kesadaran untuk memantapkan Pancasila sebagai ideologi negara bangsa, maka sesungguhnya ada harapan baru di tengah pertarungan ideologi yang terus berkembang di seantero dunia, termasuk di Indonesia.
Negara ini akan tetap menjadi besar dan bersatu manakala seluruh komponen bangsanya menjadikan Pancasila sebagai ideology bangsa. Oleh karena itu, menguatkan kembali Pancasila sebagai living ideology menjadi penting adanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar